DPKSumenep.id – Sebagian kalangan dalam dunia pendidikan masih menganggap kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) sebagai ancaman. Namun, Ketua Yayasan Guru Belajar, Bukik Setiawan memiliki pandangan lain.
Bukik menilai, kehadiran AI semestinya bisa menjadi momen refleksi untuk para pendidik.
“Pendidikan selalu dikenal sebagai penggerak perubahan. Ironisnya, pendidikan malah seringkali terseok-seok oleh perubahan. Hingga sekarang, penggunaan HP saja masih dilarang di banyak sekolah,” ujar Bukik (10/5/2023) melalui keterangan tertulis.
Sekarang ini ada kekhawatiran karena murid mengerjakan tugas hanya dengan menyalin jawaban dari AI. Bukik menerangkan hal ini bisa terjadi karena tugas sekolah kebanyakan sifatnya objektif. Jawaban benar atas tugas yang sifatnya objektif, umumnya hanya satu.
Tugas semacam itu tidak memberi ruang kepada murid untuk menunjukkan potensi dan menyampaikan aspirasi. Menurut Bukik, walaupun murid memiliki latar belakang beragam, tidak ada kesempatan untuk mengeksplorasi aspirasi tersebut.
“Tugas ini mengabaikan subjektivitas murid sebagai manusia. Nggak ada ruang untuk emosi, aspirasi, selera, mimpi, dan hal lainnya,” kata Bukik.
Bukik menyebutkan tindakan murid yang dianggap tidak bermoral seperti mensontek, plagiasi, sampai joki tugas adalah bentuk perlawanan sistem pendidikan yang tidak menghargai subjektivitas.
“Kalau mau dicek, dari sekian banyak tindakan-tindakan itu, hanya sedikit yang kaitannya sama moral. Justru itu menunjukkan cacatnya sistem pendidikan kita yang tidak menghargai subjektivitas,” ujar Bukik.
Tips Agar Murid Tak Hanya Bergantung AI
Bukik menerangkan, daripada melarang penggunaan AI, maka guru bisa menjadikan tugas supaya lebih esensial. Oleh karenanya dia memiliki beberapa tips agar tugas lebih bermakna, sehingga anak didik tak hanya mengandalkan AI dalam mengerjakan tugas.
Berikut ini beberapa tips dari Bukik yang bisa diterapkan:
1. Ubah Penilaian Jadi Otentik
Bukik menyarankan, guru bisa memperbanyak tugas dengan jawaban yang memberikan ruang untuk murid bisa berpikir dan memunculkan aspek otentiknya. Guru juga perlu memberi umpan balik yang bermakna.
“Misalnya ada satu tugas yang sama, tapi tentu jawaban anak yang tinggal di dekat sawah dengan dekat perkebunan pasti berbeda. Cara berpikirnya kan berbeda. Asesmennya nanti bisa lebih meaningful,” jelas Bukik.
2. Bergeser dari Tugas Generalisasi ke Personalisasi
Apa yang dimaksud dengan tugas personalisasi adalah, tugas yang diterima murid sesuai dengan profilnya. Salah satu strategi yang diterapkan untuk tugas semacam ini adalah project-based learning (PjBL).
Pada PjBL, murid didorong agar lebih peka terhadap permasalahan yang ada. Mereka akan diberi kesempatan untuk berpikir bagaimana menyelesaikan permasalahan ini. Guru kemudian bertugas memfasilitasi supaya murid dapat belajar di setiap proses PjBL.
3. Mengajak Murid Berpikir Kritis
Bukik berpendapat, AI dapat menghasilkan output yang kompleks hingga mendekati kreativitas manusia dalam beberapa sudut. Kendati begitu, daya kritis AI masih terbatas.
“Sekarang AI sudah bisa membuat gambar yang menakjubkan, menghasilkan cerita yang menarik. Sehingga sekarang challenge-nya sudah masuk ke kritis. Misal mesin AI mau bikin kreasi, murid bisa mengkritisi hasil-hasil tersebut,” ucap Bukik.
4. Memberi Tugas yang Kaitannya Relasional
Bukik menerangkan, sampai hari ini tugas yang terkait dengan relasional masih belum bisa digantikan AI. Maka, terkait hal ini guru juga sudah harus bisa memberikan tugas yang tidak cuma mementingkan capaian individu.
Menurut Bukik, kalau tugas masih fokus ke capaian atau prestasi individu, maka akan tersalip AI.
5. Kaitkan Tugas dengan Area Sosial-Emosional
Terakhir, Bukik menyarankan agar guru memberikan tugas yang dikaitkan dengan area sosial-emosional. Keterampilan seperti kecerdasan emosional, empati, kemampuan memahami, dan mengekspresikan emosi tidak dapat diwakilkan oleh AI.
- Tulisan telah tayang di detik.com dengan judul, “Takut Murid Cuma Andalkan AI? Pemerhati Pendidikan Punya 5 Tips buat Guru”.