Pendidikan Progresif Sebagai Reaksi Terhadap Tradisional dan Formalisme

Dr. Salamet, M.Ag
(Dosen STKIP PGRI Sumenep dan Dewan Pendidikan Sumenep)


Masa anak-anak adalah masa untuk dirinya sendiri dan tidak untuk persiapan kehidupan dewasa. Maka orang dewasalah yang seharusnya hadir memikirkan apa dan bagaimana anak-anak dari segala usia tertentu terpenuhi kebutuhan kesehatan tubuhnya untuk menjaga integritas kepandaian dengan tulus dan secara sadar tidak mementingkan diri sendiri. Dari sinilah pendidikan diperlukan untuk menghadirkan program sekolah yang mampu menjawab segala persoalan anak sebagai generasi manusia di masa depan.

Banyak anggapan dan indikasi sementara bahwa sekolah telah gagal untuk memelihara gerak zaman dalam perubahan hidup yang terjadi di dalam masyarakat. Perkembangan zaman yang ditandai dengan kemajuan IPTEK seharusnya disertai pula dengan kemajuan dalam pendidikan. Sekolah dan segala program pendidikan seringkali terlihat masih sangat dipengaruhi oleh pragmatisme yang hanya menekankan pengetahuan induktif dengan bersumber pada pengalaman belajar, pengalaman empiris, dan menolak apriori dan aposteriori. Sehingga anak-anak peserta didik mudah membangun kesimpulan dengan pola tertentu, yaitu kebenaran hanya diukur dari nalar pengetahuan yang induktif. Akhirnya pendidikan yang berpijak pada pragmatisme ini memandang nilai sebagai relatif. Nilai dilihat tidak terbangun dengan sendirinya dan menolak apriori yang ditegaskan oleh pemikiran Kant dan Scheler. Pendidikan yang pragmatis memandang nilai hanya terbentuk oleh pengalaman konkrit manusia. Artinya, segala hal dapat bernilai apabila sudah diuji oleh pengalaman konkrit manusia dalam relasinya dengan manusia lain.

Tulisan ini merupakan reaksi terhadap kekakuan pendidikan formal maupun pendidikan tradisional yang membosankan, yang hanya menekankan metode belajar formal, pendisiplinan secara keras dalam pembelajaran fisik, pembelajaran yang hanya terpaku pada materi atau buku teks, pembelajaran mental (psikis), dan pembelajaran kidung-kidung klasik yang tidak bermanfaat dalam kemajuan pendidikan. Tulisan ini menghadirkan progresivisme dalam pendidikan, yaitu mendorong pembebasan belajar dari penekanan tradisonal untuk pembelajaran hafalan, pembelajaran bacaan dan otoritas buku teks.

Pendidikan yang progresif terus fokus pada anak peserta didik sebagai pembelajar. Kegiatan belajar ditekankan pada pengalaman daripada kemampuan verbal, serta mendorong kerja sama daripada individual belajar pelajaran. Pendidikan progresif juga membudayakan relativisme budaya yang kritis. Posisi pendidikan progresif menempati antara tradisionalisme dan otoritarianisme. Pendidikan dipandang sebagai proses untuk membebaskan anak peserta didik. Sekolah hanya sebagai tempat anak menjalani percobaan gratis, dan tempat bermain mengekspresikan diri, serta sekolah dipandang sebagai pusat komunitas  atau agen reformasi sosial.

 

Prinsip Pendidikan Progresif

Pendidikan progresif mendorong anak peserta didik untuk memiliki keunggulan dalam kemampuan atau potensi kecerdasan, kreatifitas dan dinamisme sebagai bekal memecahkan pesoalan-persoalan. Anak peserta didik diharapkan memiliki kecerdasan yang mampu diaktulisasikan dalam pengalaman dan tindakannya. Sehingga sekolah harus dikondisikan sedemikian cara agar anak leluasa berelasi dengan masyarakat dan alam semesta.

Pendidikan progresif mengecam dan mengutuk keras terhadap; guru otoriter, ketergantungan eksklusif pada metode instruksional dan buku pelajaran, pembelajaran pasif dengan hafalan data faktual, pembatasan kefilsafatan pendidikan yang mengisolasi pendidikan dari realitas sosial, dan hukuman fisik sebagai alasan disiplin atau penggunaan rasa takut.

Pendidikan yang progresif menekankan sifat fleksibel (tidak kaku, tidak menolak perubahan, tidak terikat pada suatu doktrin tertentu), sifat curios (keinginan mengetahui, menyelidiki), sifat toleransi dan open minded (memiliki hati dan pikiran terbuka).

Ungkapan Bernadib (1988) tentang simbolik pendidikan progresif yang dapat dijadikan landasan prinsip pendidikan sebagai berikut:

“Setiap  anak berhak untuk hidup secara alami, bahagia, dan sepenuhnya sebagai seorang anak…. Masa di dalam dirinya adalah bagian indah dari kehidupan, dan anak-anak harus diberi untuk anak-anak berada di…. Kita percaya dalam hidup yang penuh warna, kesenangan, kenyamanan di kelas kami: dalam kesempatan bagi spontanitas. Kami ingin anak-anak untuk selalu dating ke sekolah.”

Dari pernyataan tersebut dapat ditemukan prinsip pendidikan progresif, yaitu: 1) anak harus bebas untuk berkembang secara alami; 2) guru harus menjadi narasumber dan menjadi pemandu kegiatan belajar; 3) minat harus dirangsang oleh pengalaman langsung sebagai stimulus terbaik untuk belajar; 4) harus dibangun keeratan kerjasama antara sekolah dan rumah; dan 5) sekolah progresif harus menjadi laboratorium untuk reformasi pendidikan dan eksperimen.

Kneller (1971) menegaskan orientasi pendidikan progresif, sebagai berikut: 1) pendidikan adalah hidup itu sendiri, bukan persiapan untuk hidup. Kehidupan yang baik adalah kehidupan intelegen, kehidupan yang mencakup interpretasi dan rekonstruksi pengalaman; 2) pengajaran harus dihubungkan dengan kepentingan anak; 3) belajar pemecahan masalah harus didahulukan dari belajar melalui subject matter; dan 4) peran guru tidak langsung, melainkan hanya untuk memberikan petunjuk kepada anak peserta didik.

 

Pendidikan Progresif Menuju Merdeka Belajar

Pendidikan progresif pada dasarnya tidak tertarik dengan rumusan atau penggunaan kurikulum yang dicanangkan dalam rangka menggiring pelajaran kepada siswa. Akan tetapi rumusan kurikulum harus didatangkan dari anak peserta didik yang memiliki potensi dan kemampuan berbeda-beda, sehingga terbentuk proses belajar-mengajar yang aktif, kreatif, inovatif, menarik, dan selalu berubah. Sekolah hendaknya tidak hanya membangun ruang satu kelas, tapi juga menghadirkan ruang kerja, ruang laboratorium ilmu, studio, ruang seni, ruang memasak, tempat olah raga, perkebunan dan pertanian, dan sebagainya. Bangunan ruang yang lengkap dan memadai ini akan membantu pemenuhan kebutuhan fisik, sosial, emosi alamiah, dan ruang kebebasan mengekspresikan pikiran.

Pendidikan progresif akan mengarahkan pendidikan pada kemerdekaan dalam belajar, barangkali sebagaimana yang sekarang lagi didengungkan merdeka belajar. Alasan kemerdakan dalam belajar ini adalah kemampuan menghadirkan pemecahan masalah dalam pendidikan yang memandang anak sebagai pribadi bebas, unik dan bermartabat. Sehingga pendidikan tidak hanya meneriakkan tentang memanusiakan anak peserta didik, melainkan harus menempatkan anak peserta didik sebagai manusia dan menghidupkan iklim kemanusiaan.

Anak peserta didik tidak dipaksa keluar dari kehidupannya, tapi dibiarkan tumbuh berkembang sesuai dengan dunianya. Anak tidak dipaksa memahami, tapi diantarkan menemukan sesuatu. Sudah semestinya anak peserta didik belajar dari hidup, lingkungan sosial, dan alam semestanya, sehingga tumbuh kesadaran tinggi tentang tanggung jawab sosial. Anak peserta didik didorong untuk tumbuh dengan kualitas pribadi yang kuat, percaya diri, kreatif, dan daya imajinasi dan eksporasi yang tinggi.

Penolakan pendidikan progresif terhadap kurikulum bukan berarti meniadakan dalam arti nihilisme, melainkan menghadirkan kurikulum yang benar-benar didasarkan pada keberadaan anak peserta didik yang pasti beragam dan berbeda-beda. Pendidikan harus mampu menginternalisasi nilai-nilai fundamental hasil penghayatan bersama. Sekaligus pendidikan harus tetap berpegang tegung pada nilai-nilai dasar, yang memungkinkan nilai itu dieksplorasi dari anak peserta didik sendiri, dan terbuka atas kehadiran nilai-nilai baru dengan hasil eksplorasi hidup anak peserta didik.*

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments