Pos Jaga Mental Bahasa dan Bangsa
Oleh:
Salamet Wahedi, M.A.*
(Dosen STKIP PGRI Sumenep & Anggota Dewan Pendidikan Kabupaten Sumenep)
Sewaktu kuliah, kelas mata kuliah sintaksis yang diampu oleh Gatot Susilosumowijo menjadi kelas yang penuh tekanan. Hampir di setiap pertemuan, kepala teman-teman khusuk melayapi kertas diktat. Tangan mereka sibuk membuat catatan dan pertanyaan. Saya menempuh kelas yang menegangkan itu pada semester tiga tahun kedua kuliah (2006). Saya memasuki ruang kuliah sintaksis dengan catatan daftar yang kritis: 4 absen atau 4 kali tidak masuk kelas.
Kali pertama masuk kelas saya disergap kaku. Setiap kepala seolah hanya mengimajinasikan untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari mara bahaya yang mengancam. Apalagi ketika Pak Gatot mulai membacakan diktat sintaksis, semua kepala seperti kehilangan detik untuk berkedip atau mengeluarkan sedesis suara. Semua kepala, demi keselamatannya, menaruh perhatian besar terhadap penjelasan Pak Gatot.
Dalam cerita orang-orang terdahulu dan sekitarnya, Pak Gatot merupakan sosok dosen yang menaruh perhatian cukup besar terhadap cara berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Perhatian Pak Gatot pada kebaik-benaran berbahasa tidak hanya dalam tulisan. Beliau juga dengan seksama memerhatikan tata bahasa lisan lawan bicaranya. Dalam kelas sintaksis, Pak Gatot tidak sungkan untuk menegur, bahkan memotong pembicaraan mahasiswanya yang banyak menggunakan kata kan atau menggunakan kalimat bertele-tele. Sepak terjang untuk menjaga bahasa Indonesia yang baik dan benar tidak hanya di dalam kelas sintaksisnya. Di kalangan para koleganya (:dosen) Pak Gatot menjelma polisi berdarah dingin. Dia tak ragu untuk menegur para pelanggar tata bahasa.
Keteguhan Pak Gatot memegang prinsip kebaik-benaran berbahasa Indonesia dalam berbagai situasi dan kondisi telah menjadi potret eksistensialisme. Bahasa dalam diri Pak Gatot menjadi medium komunikasi sekaligus cara menemukan diri. Dengan bahasa, Pak Gatot menemukan eksistensinya pada Subjek sebagai pelaku dan Predikat yang menyiratkan tindakan.
Sikap dan idealisme Pak Gatot tidak terlepas dari eksistensinya sebagai seorang pendidik. Menurutnya, seorang pendidik (dan civitas akademik lainnya) memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga dan melestarikan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Karena itu, sosok Pak Gatot pun tidak bisa dilepaskan dari lembaga/institusi yang menaunginya. Pun sebaliknya, tindak-tanduk Pak Gatot dapat diterjemahkan sebagai bagian karakter, fungsi dan peran lembaga tempatnya bernaung di tengah masyarakatnya. Seperti ungkapan Jacques Lacan (Sarup, 2011:2) manusia dapat memiliki sifat sosial melalui bahasa; dan bahasalah yang membentuk manusia menjadi subjek. Maka, bahasa yang dijaga Pak Gatot berimplikasi pada ditemukannya ruang sosial yang tertata, harmoni dan dapat diterima oleh semua golongan. Selanjutnya, ruang sosial tersebut menjadi medan Pak Gatot makna keindividuanya sebagai bagian dari masyarakatnya.
Dengan demikian, peran dan fungsi Pak Gatot menjaga tata bahasa di kalangan mahasiswa dan koleganya dapat dilihat sebagai miniatur kecil Unesa, sebagai lembaga pendidikan menghasilkan individu-individu yang peka, kritis, harmoni, dan menghargai perbedaan serta dapat menjunjung nilai-nilai persatuan dan kesatuan. Kalau selama ini Pak Gatot membekali dan membiasakan para mahasiswa dan koleganya berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, secara tidak langsung Unesa pun dikenal sebagai lembaga yang memiliki peran dan fungsi menanamkan spirit Subjek bangsa dalam diri generasi muda. Kalau selama ini Pak Gatot mampu menciptakan atmosfir berbahasa taat asas, Unesa pun akan dikenal masyarakat sebagai lembaga yang konsisten mengawal identitas kebangsaan. Maka, membaca peran dan fungsi Pak Gatot dalam menjaga bahasa Indonesia, tak ubahnya membaca peran dan fungsi kampus bagi bangsa dan Negara.
***
Salah satu butir Sumpah Pemuda adalah bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Bahasa persatuan bukan sekadar bahasa penghubung antar-suku di Indonesia. Bukan sekadar jembatan antar-generasi. Bukan sekadar pengantar pada acara-acara resmi kenegaraan. Lebih dari itu, bahasa persatuan dapat dimaknai sebagai komunikasi untuk saling mengerti, memahami, menghargai, memberi dan menerima antar sesame anak bangsa. Berbagai suku-bahasa di Indonesia seolah dipaksa untuk tidak mengedepankan ego. Suku-bahasa itu diminta untuk menempatkan bahasa-bersama di atas kepentingan bahasa-susku. Karena itu, menjaga tata berbahasa Indonesia yang baik dan benar, berarti menjaga nilai-nilai persatuan.
Buku Pos Jaga Bahasa Indonesia (2006) merupakan satu dari sekian karya Gatot Susilo Sumowijoyo. Buku pegangan mahasiswa penempuh mata kuliah sintaksis ini membicarakan berbagai gejala salah -kaprah berbahasa. Dengan cermat dan teliti, Pak Gatot menganalisis dan menguraikan bentuk-bentuk kalimat secara struktur. Analisis Pak Gatot selain berkutat tentang subjek dan predikat, juga membongkar istilah salah-kaprah di kalangan para pengguna bahasa. Bahkan tidak jarang, ulasan-ulasan Pak Gatot menyadarkan dan mengundang rasa geli sense berbahasa kita. Kita lihat beberapa judul tulisan yang mengundang rasa geli itu, antara lain: Pembunuh Berdarah Dingin, Mengindonesiakan Bahasa Indonesia, Ketika Gerakan Itu Dicanangkan dan lainnya.
Berbagai kalimat dan istilah yang salah-kaprah dan paradoks dibongkarnya dengan nalar-kritik yang tajam. Semisal frasa Liga Dunhill yang dipakai kompetisi sepakbola Indonesia tahun 1994-1996. Sekilas frasa Liga Dunhill tidak mengandung masalah serius. Akan tetapi, frasa Liga Dunhil ketika disejajarkan dengan frasa Liga Itali, Liga Inggris, Liga Jerman, Liga Perancis dan liga lainnya, baru menunjukkan kecerobohan bahasa yang cukup serius. Dunhill yang notabene perusahaan rokok, yang menjadi label kompetisi sepak bola Indonesia tahun 90-an itu dapat disejajarkan dengan Itali, Jerman, Perancis dan Negara lainnya. Implikasinya, dengan memakai Liga Dunhill dalam kompetisi sepak bola, seolah-olah Negara Indonesia sudah dibeli oleh perusahaan rokok. Karena itu, Pak Gatot mengusulkan, penamaan Liga Dunhill diubah menjadi Liga Indonesia Dunhill.
Sekali lagi, dengan Pos Jaga Bahasa Indonesia, Pak Gatot menggugah kita untuk menjaga dan menghormati identitas kebangsaan. Bahasa bukan sekadar penyampai gagasan. Bukan sekadar tali interaksi antara satu manusia dan manusia lainnya. Bahasa dalam paradigma Pak Gatot, merupakan piranti-lunak untuk menumbuhkan spirit dan kesadaran eksistensi manusia. Bahkan rendah tingginya apresiasi masyarakat terhadap bahasa nasionalnya menunjukkan seberapa jauh kadar spirit kebangsaannya. Seperti kita tahu, teori sintaksis menekankan kehadiran subjek sebagai gagasan utama yang termanifestasi dalam tindakan (predikat). Kesadaran untuk menemukan dan menghadirkan subjek dalam berkomunikasi menjadi metode setiap individu untuk selalu menjaga eksistensinya, menghargai orang lain, dan berkomunikasi dengan bahasa universal. Hal ini sejalan dengan pendapat Jacques Lacan (Sarup, 2011:9) bahwa kemampuan berbicaralah yang membedakan subjek.
***
Sudayanto, Doktor Linguistik dari Universitas Gadjah Mada dalam wawancara dengan harian Kompas (Minggu, 23 Nopember 2014) menuturkan bahwa fungsi esensial bahasa ada dua. Pertama, untuk mengembangkan akal budi dan kedua, untuk memelihara kerja sama. Akal budi berkaitan dengan kesadaran untuk peka dalam berkomunikasi. Dalam mengembangkan akal budi, setiap orang membutuhkan bahasa verbal. Sedangkan pemeliharaan kerja sama menekankan pentingnya bahasa sebagai sarana untuk tetap melakukan dialog dan interakasi sesuai dengan kultur sosial.
Dua fungsi esensial bahasa tersebut dapat membentuk setiap individu untuk lebih kreatif. Perkembangan akal budi lewat bahasa akan menumbuhkan kecerdasan individu dalam berinteraksi. Bahasa, pada akhirnya tidak sekadar tutur-sapa. Akan tetapi bahasa menjadi refleksi setiap individu dalam memahami dan membangun kesepahaman antarmanusia berdasarkan kultur masing-masing. Berbahasa yang mengedepankan tata nilai sosial budaya masyarakatnya dapat digunakan sebagai strategi untuk menyelesaikan berbagai persoalan dan ketegangan.
Dalam konteks ini, gagasan dan kegigihan Pak Gatot untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik lisan maupun tulisan, merupakan usaha membentuk konkret untuk membentuk pribadi yang disiplin, berkarakter dan mampu merefleksikan nilai-nilai budaya dalam berinteraksi.
Mental Bangsa Indonesia setelah hampir tiga abad lebih terjajah- mengalami kemerosotoan dan keterbelakangan yang akut. Bangsa Indonesia pun selalu diidentikkan sebagai komunitas individu yang pemalas, feodalistik, penakut, dan banyak bicara serta suka menyalahkan orang lain. Semua karakter buruk tersebut tidak dapat dilepaskan dari tradisi dan warisan kebijakan kolonial. Seperti kita tahu, selama masa penjajahan, Bangsa Indonesia dibentuk dan diberlakukan bak orang-orang dalam rumah kaca: sekolah hanya untuk orang kaya, pemberangusan daya kiritis, ketundukan absolut kepada penguasa, hingga pembonsaian cara berpikir.
Untuk mengatasi keterbelakangan mental ini, gerakan berbahasa Indonesia dengan baik dan benar Pak Gatot pada akhirnya menjadi terapi jitu. Dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, setiap individu dituntut untuk menyadari eksistensinya, menghargai lawan bicaranya, dan memberlakukan lingkungannya dengan bahasa universal.
Daftar Bacaan
Sarup, Madan. 2011. Panduan Pengantar untuk Memahami Postrukturalisme dan Posmodernisme. Yogyakarta: Jalasutra
Sumowijoyo, Gatot Susilo. 2006. Pos Jaga Bahasa Indonesia. Surabaya: Unesa University Press.
Kompas, Minggu 23 Nopember 2014.