Oleh: Heryanti Satyadi dan Desty Dwi Kayanti*
KEKERASAN seksual merupakan fenomena yang banyak terjadi di Indonesia. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, selama 1 Januari-26 Desember 2023 ada sekitar 12.314 korban kekerasan seksual.
Permasalahan seksualitas tidak hanya kekerasan seksual. Data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencatat usia remaja di Indonesia banyak yang sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah.
Pada rentang usia 14-15 tahun tercatat sebanyak 20 persen pernah melakukan hubungan seksual, 16-17 tahun sebesar 60 persen, dan 19-20 tahun sebesar 20 persen berdasarkan data Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) pada 2017.
Berdasarkan fakta tersebut terlihat bahwa permasalahan seksualitas pada anak dan remaja penting menjadi perhatian karena dapat menimpulkan dampak pada individu. Novrianzah et al (2022) menjelaskan, dampak dari kekerasan atau pelecahan seksual dapat menyebabkan anak menjadi menderita, emosi, depresi, kehilangan nafsu makan, anak menjadi orang yang introvert, susah tidur, tidak fokus pada saat di sekolah, nilai menurun dan bahkan tidak naik kelas.
Melihat banyaknya dampak tersebut, perlu penanganan preventif agar tidak mengalami kejadian kekerasan seksual, yaitu dengan pendidikan seksualitas sejak dini. Pendidikan seksualitas bukan tentang seks saja, tetapi juga bagaimana seorang anak dapat menjaga anggota tubuhnya dari bahaya perilaku seksual di sekitarnya.
Anak merupakan makhluk sosial yang diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan. Dalam proses berkembangnya, anak-anak perlu diajarkan mengenal tubuhnya, organ seks, dan organ reproduksinya. Anak-anak masih dalam proses belajar dan tidak dapat mengetahui dengan sendirinya bagaimana menjadi makhluk seksual yang menghargai dan menerima tubuhnya.
Oleh sebab itu, perlu pendampingan orangtua, yaitu dengan pendidikan seksualitas. Pendidikan seksualitas bukan hanya tentang hubungan seks antara laki-laki dan perempuan. Pendidikan seksualitas merupakan usaha orangtua dalam mengedukasi anak dengan memberikan informasi mengenai persoalan seksualitas manusia dengan jelas dan benar.
Bagaimana cara menerapkan pendidikan seksualitas? Orangtua dapat melakukan beberapa usaha agar anak mengerti mengenai seksualitas pada dirinya, yaitu: Pertama, orangtua dapat menanamkan pikiran, perasaan, melatih perilaku, dan penampilan sesuai jender dan seksualitas anak.
Peran jender (jender maskulin-feminim) dan fungsinya sebagai laki-laki dan perempuan perlu diajarkan dengan keteladanan orangtua. Kedua, orangtua dapat mengajak diskusi anak dengan memperkenalkan bagian-bagian organ tubuh yang boleh disentuh dan tidak boleh disentuh oleh siapapun kecuali orangtua, dokter, dan guru. Ketiga, orangtua dapat memperkenalkan anak-anak dengan belajar anatomi tubuh manusia beserta fungsi-fungsinya.
Keempat, orangtua dapat mengajarkan anak mengenai pentingnya menjaga dan memelihara organ intim anak. Kelima, orangtua dapat juga menyampaikan bahwa hubungan seksual yang sehat dan sesuai seperti apa dan bagaimana risiko-risiko yang dapat terjadi tentang masalah seksual.
Ada sejumlah miskonsepsi mengenai pendidikan seksual, di antaranya: Pertama, anak masih kecil, belum pantas diberitahukan saat ini. Ayah Bunda, semakin awal anak diberitahukan mengenai dirinya, mengenai tubuhnya, mengenai jendernya akan membuat anak lebih paham siapa dirinya, bagaimana ia menjaga tubuhnya. Anak jadi lebih tahu bahwa ada hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh orang lain terhadap dirinya.
Kedua, tunggu anak tanya saja, baru diberitahu. Ayah Bunda, jika menunggu anak yang bertanya terlebih dahulu belum tentu anak akan memiliki keberanian menanyakan mengenai seksualitasnya. Jadi tak perlu menunggu anak bertanya, Ayah Bunda dapat memberitahukan sejak dini ke anak agar anak dapat terbuka dengan orangtua.
Ketiga, nanti jika sudah besar juga bakal tahu sendiri. Ayah Bunda, peluang kejahatan seksual di luar sana sangat besar. Jika menunggu anak besar dan tahu sendiri akan membuat peluang anak belum paham dan dapat menjadi korban kejahatan seksual.
Selain itu adanya media sosial dan kecanggihan teknologi dapat memudahkan anak mencari tahu sendiri pada hal yang salah. Peran ayah bunda untuk melakukan pendidikan seksualitas sejak dini sangat dibutuhkan.
Pendidikan seksualitas sesuai perkembangan anak
Program pendidikan seksualitas pada anak harus disesuaikan dengan usia perkembangan anak. Setiap anak memahami seksualitas secara berbeda-beda sesuai dengan usianya. Berikut program pendidikan seksualitas yang dapat Ayah Bunda lakukan di rumah. Usia 0-2 tahun: Saat anak dalam kandungan, orangtua dapat menyambut anak yang sudah hadir dalam kandungan apapun kelak jenis kelaminnya.
Orangtua dapat menghargai dan menerima jenis kelamin anak, sehingga anak merasa diterima hadirnya. Ketika anak sudah terlahir, orangtua dapat memperlakukan anak sesuai jenis kelaminnya dan juga dapat memberi nama, mainan, dan pakaian sesuai jender anak.
Usia 2-3 tahun: Orangtua dapat mulai memperkenalkan nama organ seksual kepada anak. Orangtua dapat menegaskan kepada anak mengenai identitas jendernya, apakah ia seorang laki-laki atau perempuan. Pada usia ini orangtua dapat mengondisikan anak untuk memperbanyak waktu bermain dengan teman yang sejenis.
Usia 3-5 tahun: Pada usia ini, orangtua sudah dapat melatih kemampuan anak untuk menjaga tubuhnya dari kemungkinan terjadi pelecehan. Orangtua juga sudah bisa mengajarkan kepada anak bagaimana cara memperlakukan, merawat, dan membersihkan organ seksual. Selain itu, orangtua juga dapat melatih penampilan anak sesuai jendernya serta mengajarkan kesopanan terkait tubuhnya.
Usia 6-8 tahun: Pada usia ini, orangtua sudah dapat mengajarkan peran jender dalam bersosialisasi dengan jender lainnya. Orangtua juga dapat menjelaskan tahap perkembangan berikutnya mengenai isu seksualitas yang akan dilalui anak. Pada usia ini juga anak sudah dipahamkan mengenai identitas dirinya, jender dan nilai keluarga yang diterapkan. Selain itu, orangtua juga mengajarkan anak bagaimana anak membangun pertemanan antarjender.
Usia 9-12 tahun: Pada usia ini, orangtua sudah mulai mempersiapkan anak untuk memasuki masa remajanya. Orangtua dapat mulai mengajarkan anak tentang masa pubertas (menstruasi, mimpi basah, dan perubahan lain yang akan terjadi) pada masa perkembangannya. Orangtua juga dapat mengajarkan kebersihan organ seksual serta memberikan pemahaman tentang kematangan seksual anak, yaitu anak memang berubah secara fisik tetapi secara pikiran dan emosional belum mengalami kematangan. Oleh karena itu, butuh pendampingan dan pengajaran dari orangtua.
Usia 13-15 tahun: Pada usia ini, orangtua sudah mulai mengajarkan anak bagaimana cara mengendalikan dorongan seksual yang terjadi pada anak, mengajari cara menghindari dan mengendalikan diri dari daya tarik sosial. Lalu, mengajarkan dan meneguhkan nilai keluarga yang sudah ditanamkan melalui contoh berbagai kasus yang dapat diceritakan kepada anak.
Orangtua dapat memberikan ruang untuk anak dapat bertanya apapun mengenai perubahan dalam dirinya. Selain itu, orangtua juga harus memperhatikan beberapa perubahan psikologis yang dialami anak pada masa perkembangannya, yaitu perasaan anak yang mudah berubah, sering dipengaruhi rasa kesal, galau, dan bosan, mudah marah/tersinggung, mulai tertarik dengan lawan jenis, dan adanya rasa ingin tahu yang tinggi tentang apapun juga terutama mengenai seks.
Berdasarkan hal tersebut, orangtua harus memiliki kepekaan terhadap perubahan perilaku anak dan orangtua dapat menjadi sumber utama bagi anak dalam mendapatkan informasi apapun yang dibutuhkan.
Kesimpulannya satu langkah yang Ayah Bunda lakukan untuk melakukan pendidikan seks kepada anak sesuai perkembangannya dapat membantu anak terhindar dari kejahatan seksual dan dapat mengantisipasi terjadinya perilaku menyimpang kemudian hari.
Prosesnya tentu tidak mudah, tetapi dengan konsistensi dan tekad yang kuat, Ayah Bunda sudah menolong dan berkontribusi menjaga dan meyelamatkan anak dari kejahatan seksual dan perilaku menyimpang pada masa depan.
Pendidikan seksual bukan hal yang tabu untuk dibicarakan, tapi merupakan hal penting untuk diberikan di dalam rumah. Orangtua yang memiliki peran penting dalam memberikan sex education dalam keluarga. Mulailah perbaikan dari dalam rumah dan selamatkan anak dari tindak bahaya kejahatan seksual pada masa depan.
*Dr. Heryanti Satyadi, M.Si, Psikolog, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara Desty Dwi Kayanti, mahasiswi S2 Universitas Tarumanagara.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Pendidikan Seks: Mencegah Anak dari Kejahatan Seksual”