Asap yang Menyesakkan Nurani

Busri Toha (paling kiri), Mulyadi (Ketua DPKS), Achmad Junaidi (Jubir) Achmad Nawawi (Bendahara) dalam Rakornas IV Forum Dewan Pendidikan Se Indonesia di Yogyakarta.

Oleh Busri Toha (Wakil Sekretaris Dewan Pendidikan Kabupaten Sumenep)

Belakangan ini, ada pemandangan yang membuat hati saya miris. Di sudut-sudut sekolah, di balik tembok kelas, bahkan di toilet sekolah, tampak beberapa siswa dengan santainya menyalakan rokok. Asapnya mengepul ke langit, seperti kabut kecil yang menutupi jernihnya masa depan mereka sendiri.

Saya bukan orang yang sukar memaafkan. Tapi kalau yang merokok itu adalah anak-anak sekolah—mereka yang masih belajar tentang disiplin, akhlak, dan tanggung jawab—sungguh, hati ini terasa sesak. Bukan karena asapnya, tapi karena maknanya.

Padahal sudah jelas, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, bahkan juga Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, menegaskan bahwa lingkungan pendidikan termasuk kawasan tanpa rokok. Artinya, sekolah mestinya menjadi tempat yang bersih dari asap, tempat yang menumbuhkan kesegaran pikiran, bukan mengajarkan kenekatan dan pembangkangan halus terhadap aturan.

Tapi ironisnya, justru di tempat yang disebut “taman pendidikan”, asap rokok sering kali menjadi hiasan yang memprihatinkan. Saya tidak tahu siapa yang lebih perlu disadarkan—para siswa yang merokok, para guru yang membiarkan, atau masyarakat yang mulai menganggapnya biasa.

Mungkin ini bukan semata soal rokok. Ini tentang bagaimana kita, orang dewasa, menanamkan tauladan. Anak-anak itu meniru lebih cepat daripada mereka mendengar nasihat. Kalau di sekitar mereka rokok dianggap biasa, maka mereka pun akan menganggapnya begitu.

Dalam masyarakat yang katanya beradab, merokok di sekolah itu bukan hanya melanggar aturan, tapi juga melukai rasa moral. Sekolah adalah tempat menanam ilmu dan akhlak, bukan tempat menanam kebiasaan buruk yang kelak bisa berakar dalam diri mereka.

Saya teringat pesan guru saya dulu:

“Kalau engkau ingin menanam pohon yang baik, bersihkan dulu tanahnya dari duri dan batu.”

Barangkali, sekolah kita sekarang sedang kotor oleh duri-duri kecil: ketidakpedulian, kelengahan, dan keteladanan yang hilang. Anak-anak yang merokok itu mungkin hanya gejala. Sumber penyakitnya ada pada kita semua — para orang tua, pendidik, dan masyarakat yang semakin permisif terhadap hal-hal yang mestinya kita jaga.

Maka, sebelum asap rokok itu menyesakkan paru-paru anak-anak kita, ia sebenarnya sudah lebih dulu menyesakkan nurani kita.

 

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments