Oleh Busri Toha
Setiap 23 April, dunia memperingati Hari Buku Sedunia—sebuah momentum universal yang bukan hanya merayakan keberadaan buku, tetapi juga mengingatkan umat manusia pada pentingnya membaca sebagai fondasi peradaban. Di era yang serba digital ini, kita kerap melupakan bahwa buku adalah sumber pengetahuan paling mendalam yang pernah diciptakan manusia. Buku bukan sekadar tumpukan kertas berisi tulisan, melainkan pintu menuju pemahaman yang lebih luas tentang dunia dan diri sendiri.
Sejak zaman dahulu, buku telah menjadi senjata paling ampuh dalam pertempuran melawan ketidaktahuan. Seperti yang pernah dikatakan oleh filsuf Prancis, Voltaire, “Menulis adalah tindakan berpikir yang dituliskan; membaca adalah berpikir ulang secara mendalam.” Melalui buku, manusia mampu melestarikan ilmu, menyampaikan gagasan lintas zaman, dan menyusun strategi untuk masa depan. Buku bukan hanya menyimpan informasi, tetapi juga nilai, kebijaksanaan, dan harapan.
Namun, realitas yang kita hadapi kini cukup mengkhawatirkan. Minat baca menurun drastis, tergeser oleh budaya instan yang ditawarkan media sosial dan konten singkat. Data UNESCO menyebutkan bahwa rata-rata orang Indonesia membaca kurang dari satu buku per tahun. Fenomena ini bukan hanya soal preferensi, tetapi sinyal krisis literasi yang bisa berdampak panjang pada kualitas berpikir generasi penerus bangsa.
Membaca bukan hanya aktivitas kognitif, melainkan latihan berpikir kritis. Orang yang rajin membaca akan memiliki kemampuan untuk memilah informasi, menilai kebenaran, dan bersikap bijaksana dalam mengambil keputusan. Di tengah banjir informasi dan hoaks yang merajalela, budaya membaca menjadi benteng utama untuk menjaga kejernihan berpikir dan kemerdekaan intelektual.
Selain memperkaya logika, membaca juga menumbuhkan empati. Melalui kisah-kisah dalam buku, kita bisa menyelami kehidupan orang lain, memahami penderitaan, kegembiraan, perjuangan, dan harapan dari sudut pandang yang berbeda. Buku menjembatani batas-batas geografis, budaya, dan ideologi. Seperti kata penulis Amerika, Harper Lee, “Anda tak akan benar-benar memahami seseorang sampai Anda melihat dunia dari sudut pandangnya—hingga Anda menyusup ke dalam kulitnya dan berjalan di dalamnya.”
Hari Buku Sedunia juga menjadi pengingat bahwa akses terhadap buku harus menjadi hak semua orang. Di pelosok negeri, masih banyak anak-anak yang belum memiliki buku bacaan yang layak. Pemerintah, sekolah, keluarga, dan masyarakat sipil perlu bersinergi untuk menyediakan sumber literasi yang merata. Mendirikan perpustakaan, membuat program baca gratis, hingga mendistribusikan buku-buku ke daerah terpencil adalah langkah nyata yang tak boleh ditunda.
Teknologi digital tidak harus menjadi lawan buku. Justru dengan e-book, audiobook, dan platform digital lainnya, buku bisa lebih mudah dijangkau. Yang perlu dijaga adalah semangatnya: semangat untuk mencari pengetahuan, menggali pemahaman, dan memperluas wawasan.
Peringatan Hari Buku Sedunia seharusnya tidak hanya menjadi seremoni tahunan, melainkan refleksi dan komitmen bersama untuk membudayakan literasi. Bangsa yang besar adalah bangsa yang membaca, karena dari membaca lahir pemikiran-pemikiran besar yang menggerakkan sejarah.
Seperti pepatah lama yang berkata, “Satu buku, satu pena, satu anak, dan satu guru bisa mengubah dunia.” Maka marilah kita rawat harapan itu dengan satu tindakan paling sederhana: membaca buku. (*)