DPKSUMENEP.ID, Aula Laboratorium IPA SMP Negeri 1 Dasuk pada Sabtu pagi, 8 November 2025, tampak lebih hidup dari biasanya. Kursi-kursi tertata rapi menghadap podium, sementara deretan guru, wali murid, dan pengurus komite satu per satu memasuki ruangan. Di depan, dua orang tamu dari Dewan Pendidikan Kabupaten Sumenep (DPKS) telah bersiap: Mulyadi, M.Pd., dan Dr. Slamet—keduanya diundang untuk memberikan pembinaan tentang penguatan peran Komite Sekolah.
Acara dibuka oleh Pelaksana Tugas Kepala SMP Negeri 1 Dasuk, Eka Yuniarti, S.Psi. Dalam sambutannya, ia menekankan pentingnya hubungan yang sehat antara sekolah dan orang tua. “Komite adalah jembatan. Apa yang diimpikan sekolah, apa yang menjadi harapan orang tua, bertemu di sana,” ucapnya.
Eka juga menjelaskan bahwa dalam beberapa pekan terakhir, pihak sekolah telah menggelar pertemuan berjenjang dengan orang tua siswa kelas 7, 8, dan 9. Forum itu digunakan untuk menyampaikan fokus program sekolah, terutama pembiasaan ibadah seperti Sholat Dhuha dan Sholat Dzuhur berjamaah. Selain itu, kompetisi antar kelas digagas sebagai ruang pembentukan karakter—kegiatan yang memerlukan dukungan nyata dari orang tua.
“Terima kasih kepada Dewan Pendidikan Kabupaten Sumenep yang telah hadir dan bersedia mendampingi kami,” lanjut Eka. Ia berharap pembinaan ini bukan sekadar forum dialog, melainkan awal penguatan layanan pendidikan di sekolah.
Di barisan depan, Wahyono—Ketua Komite Sekolah SMPN 1 Dasuk—tampak mengangguk mendengar penjelasan demi penjelasan. Antusiasme serupa terlihat pada anggota komite lain yang hadir pagi itu.

Giliran Mulyadi, M.Pd. naik ke podium. Suaranya tenang, namun pesannya tegas. Ia mengingatkan bahwa komite bukan sekadar formalitas organisasi. “Komite adalah representasi masyarakat. Ia menjadi penyeimbang, pengawas, dan penyokong visi pendidikan sekolah,” ujarnya. Mulyadi juga menyinggung etika bermedia sosial, terutama dalam menyikapi isu-isu sekolah yang kerap meluas tanpa klarifikasi.
Seusai itu, Dr. Slamet memaparkan materi lebih mendasar—rambu yang mengatur peran Komite Sekolah, sebagaimana tertuang dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016. Ia menjelaskan empat tugas inti komite: memberi pertimbangan kebijakan, menggalang dukungan sumber daya secara sukarela, mengawasi pelayanan pendidikan, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat.
Namun Dr. Slamet juga berhenti sejenak ketika memasuki bagian penting: larangan. “Komite tidak boleh melakukan pungutan. Komite tidak boleh mengambil keuntungan dari operasional sekolah. Semua yang dibangun harus bersandar pada integritas,” tegasnya. Ia memisahkan tegas antara sumbangan sukarela dan pungutan. Kekeliruan dalam hal ini, ujarnya, kerap berujung salah paham dan potensi sanksi.
Sesi diskusi kemudian mengemuka. Salah satu pertanyaan muncul dari Eko Hendra Wahyudi, S.Pd., yang menyoal kemungkinan pemberian insentif bagi pengurus komite—mengingat tanggung jawab mereka tidak kecil. Menanggapi itu, Mulyadi menyebut bahwa isu tersebut sudah lama menjadi pembicaraan di banyak sekolah. Ia mengungkapkan bahwa DPKS tengah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan telah diminta menyiapkan draf Peraturan Bupati mengenai kebijakan insentif bagi pengurus komite.
Kegiatan pembinaan berakhir menjelang siang, tetapi percakapan masih berlanjut dalam kelompok-kelompok kecil. Diskusi ringan tentang program sekolah, keterlibatan orang tua, hingga rencana tindak lanjut terdengar mengisi lorong-lorong.
Dalam catatan hari itu, satu hal mengemuka: kolaborasi bukan hanya kata yang diucapkan dalam sambutan. Ia sedang dibangun perlahan, duduk berhadap-hadapan, dan disepakati melalui dialog. Di SMP Negeri 1 Dasuk—setidaknya hari itu—sekolah dan masyarakat kembali ditautkan.