(Menyalakan Kembali Semangat Persatuan dan Karakter Anak Bangsa)
Oleh: Mulyadi
(Ketua Dewan Pendidikan Sumenep, Dosen Universitas PGRI Sumenep)
“Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat menuntun tumbuhnya kodrat itu agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.”
— Ki Hajar Dewantara
Setiap 28 Oktober, bangsa Indonesia kembali menundukkan kepala sejenak, mengenang momentum bersejarah yang menjadi tonggak lahirnya semangat persatuan, Sumpah Pemuda. Namun, di tengah gegap gempita unggahan bertema nasionalisme di media sosial dan upacara simbolik di sekolah-sekolah, sering kali makna terdalamnya memudar : apa arti Sumpah Pemuda bagi dunia pendidikan hari ini?
Sumpah Pemuda bukan sekadar naskah lama yang dibacakan setiap tahun. Ia adalah pesan moral lintas generasi — bahwa cinta tanah air lahir dari kesadaran bersama untuk menumbuhkan karakter dan persatuan. Dulu, para pemuda bersatu karena satu tekad, meski berbeda bahasa, suku, dan keyakinan. Kini, semangat itu seharusnya menyala di ruang kelas — tempat anak-anak Indonesia belajar mengenal makna kebersamaan, kejujuran, dan gotong royong.
Dari “Satu Nusa” ke “Satu Tujuan Pendidikan”
Sumpah Pemuda mengajarkan bahwa cinta tanah air bukan diwariskan, tetapi ditumbuhkan. Dalam dunia pendidikan, semangat itu berarti satu tujuan yaitu membangun karakter pelajar Indonesia yang cerdas, berdaya saing, dan berakhlak mulia.
Nilai akademik dan prestasi memang penting, tetapi jauh lebih penting menanamkan rasa cinta kepada bangsa dan sesama. Sebagaimana ditegaskan UNESCO (1996) melalui empat pilar pendidikan — learning to know, learning to do, learning to live together, and learning to be — belajar sejatinya bukan hanya soal pengetahuan, tetapi tentang menjadi manusia seutuhnya.
Di ruang kelas, semangat “Satu Nusa” bisa dimaknai sebagai kesadaran bersama bahwa pendidikan adalah rumah besar yang menampung perbedaan. Baik anak di kota maupun di pelosok, semuanya berhak mendapatkan ruang tumbuh yang sama. Di situlah keadilan pendidikan menjadi bentuk nyata cinta tanah air.
Dari “Satu Bangsa” ke “Satu Rasa Gotong Royong”
Kita hidup di era kompetisi tanpa batas. Setiap siswa didorong untuk menjadi yang terbaik, sering kali tanpa disadari menumbuhkan sikap individualistis. Padahal, semangat Sumpah Pemuda justru menekankan rasa kebersamaan.
Anak-anak perlu belajar bahwa gotong royong bukan sekadar membantu secara fisik, tetapi juga membantu teman yang tertinggal, berbagi pengetahuan, dan menghargai perbedaan pendapat. Seperti kata Bung Karno, gotong royong adalah “jiwa asli bangsa Indonesia.” Maka, jika sekolah masih menanamkan kerja sama dan empati, ia sesungguhnya sedang menjaga denyut nadi bangsa.
Guru, dalam hal ini, bukan hanya pengajar ilmu, tetapi juga penjaga nilai. Ketika seorang siswa berani membantu temannya memahami pelajaran tanpa diminta, di sanalah Sumpah Pemuda sedang hidup dalam wujudnya yang paling sederhana.
Dari “Satu Bahasa” ke “Bahasa Kebaikan”
Dulu, Bahasa Indonesia menyatukan perbedaan. Kini, anak-anak perlu belajar “bahasa kebaikan” yaitu tutur kata yang santun, empati dalam berbicara, dan kemampuan berkomunikasi yang menghargai.
Di era media sosial, kata-kata bisa menjadi jembatan atau jurang. Banyak konflik di kalangan pelajar bermula dari komentar di dunia maya. Maka, pendidikan karakter menjadi perisai penting. Mengajarkan bahwa berbicara dengan hormat dan sopan adalah bentuk baru dari nasionalisme – cinta tanah air yang diwujudkan lewat perilaku sehari-hari. Bahasa kebaikan ini seharusnya menjadi “bahasa ibu kedua” di sekolah. Bahasa yang tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga menebarkan kasih dan penghormatan.
Guru dan Orang Tua, Penjaga Api yang Tak Padam
Para pemuda 1928 membawa obor perjuangan menuju kemerdekaan. Kini, guru dan orang tua memegang obor yang sama, meski dalam bentuk berbeda: mendidik. Setiap nilai yang ditanamkan, setiap anak yang berani bermimpi, adalah kelanjutan dari perjuangan itu. Pendidikan sejati bukan sekadar transfer ilmu, tetapi penyaluran semangat kebangsaan. Seperti diungkap Nelson Mandela, “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.”
Guru yang menuntun murid untuk jujur, orang tua yang mengajarkan anaknya menghargai orang lain, adalah pahlawan masa kini. Mereka menjaga api Sumpah Pemuda agar tetap menyala, bahkan di tengah arus globalisasi dan individualisme yang kian kuat.
Sumpah Pemuda Versi Anak Zaman Sekarang
Bayangkan jika generasi muda menulis ulang ikrar Sumpah Pemuda dalam bahasa mereka sendiri: “Kami, pelajar Indonesia, berjanji untuk belajar dengan sungguh-sungguh, menghargai perbedaan, dan berkarya untuk negeri dengan hati yang jujur dan pikiran yang terbuka.”
Sederhana, tetapi bermakna. Karena sejatinya, semangat Sumpah Pemuda tidak hanya hidup di buku sejarah, melainkan berdenyut di setiap ruang kelas, di setiap diskusi kelompok, di setiap mimpi anak Indonesia yang ingin berbuat baik untuk bangsanya.
Penutup : Menyalakan Kembali Api di Ruang Kelas
Sumpah Pemuda bukan sekadar peringatan seremonial, tetapi cermin bagi dunia pendidikan kita. Selama masih ada anak yang mau belajar, guru yang sabar menuntun, dan orang tua yang percaya bahwa karakter lebih penting dari sekadar nilai, maka api Sumpah Pemuda akan terus menyala — di ruang kelas, di rumah, dan di hati setiap anak bangsa.
Persatuan yang dulu dirajut dengan darah dan tekad para pemuda, kini perlu kita rawat dengan pengetahuan, empati, dan tindakan nyata. Karena sejatinya, membangun bangsa dimulai dari hal sederhana yakni membangun manusia yang berkarakter di ruang kelas kita sendiri. Wallahu’alam..