DPKSUMENEP.ID – Momen akhir tahun ajaran yang seharusnya menjadi refleksi hasil belajar, justru kian disulap menjadi panggung selebrasi penuh kemewahan. Fenomena ini mengundang keprihatinan Dewan Pendidikan Kabupaten Sumenep. Ketua Dewan Pendidikan, Mulyadi, mengingatkan bahwa imtihan – yang sejatinya bermakna ujian – kini mulai kehilangan makna karena dikemas bak pesta hiburan.
“Imtihan itu ujian, mestinya jadi ajang refleksi capaian siswa. Tapi sekarang malah jadi haflatul imtihan yang penuh gemerlap. Ini perlu dikritisi,” ujar Mulyadi, Kamis (12/6/2025).
Ia menilai, tren perayaan kelulusan yang semakin megah dan hedonistik berpotensi menyesatkan orientasi pendidikan. Acara yang mestinya sederhana dan sarat nilai justru berubah menjadi ajang unjuk gaya, lengkap dengan panggung, busana mewah, hingga biaya tinggi yang membebani orang tua.
“Sekolah-sekolah kami imbau untuk membatasi kegiatan yang terlalu seremonial. Jangan sampai semangat belajar tergeser oleh kepentingan tontonan,” tegas alumni Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk itu.
Bagi Mulyadi, bukan berarti imtihan tak boleh dirayakan. Namun bentuknya perlu lebih kreatif dan membumi. Ia mendorong sekolah menampilkan karya dan prestasi siswa, bukan parade busana atau hiburan semata.
“Perayaan tetap boleh. Tapi coba tampil beda. Tampilkan hasil karya, kreativitas siswa, bukan hanya euforia. Ini momentum tunjukkan hasil pendidikan, bukan pesta yang kosong makna,” imbuh dosen STKIP PGRI Sumenep itu.
Menurutnya, tantangan terberat justru datang dari budaya masyarakat sendiri. “Mindset kita sudah terbentuk: kalau tidak mewah, dianggap kurang meriah. Padahal, nilai pendidikan bukan soal seberapa ramai acaranya,” ucapnya prihatin.
Ia juga menyoroti dampak ekonomi yang cukup menyiksa, terutama bagi keluarga siswa dari kalangan bawah. “Jangan sampai orang tua sampai pinjam sana-sini hanya demi tampil di acara. Itu tidak sehat,” ujarnya.
Dewan Pendidikan Sumenep pun telah mengambil langkah konkret. Sosialisasi pendekatan edukatif dalam imtihan digencarkan, termasuk melalui turba ke sekolah-sekolah bersama komite.
“Ini pekerjaan bersama. Sekolah, komite, dan orang tua harus bersinergi. Apalagi belum ada regulasi yang mengatur soal batasan selebrasi kelulusan. Maka kita dorong kesadaran dulu,” tandasnya. (ibn)