Merdeka Belajar dan Pendidikan 4.0 Dalam Menghadapi Tantangan Digital

Ahmad Nawawi
(Dewan Pendidikan Kabupaten Sumenep)

Di era modern ini yang lebih dikenal dengan revolusi 4.0 banyak terjadi perubahan struktur sosial, ikatan sosial bergantung pada teknologi, teknoligi sudah menjadi komoditi masyarakat pada umumnya. Dengan adanya teknologi, masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan memiliki daya saing yang tangguh. Kompetensi berpikir, bertindak dan hidup menjadi bagian masyarakat dunia merupakan perwujudan dari Pendidikan.

Untuk menghadapi era revousi 4.0, pendidikan melalui sekolah harus memberikan pembelajaran sesuai kebutuhan siswa, guru sebagai mentor, siswa dipandang tidak sama dan menjadi tidak sama sesuai potensi atau talenta masing-masing. Pendidikan 4.0 adalah program untuk mendukung terwujudnya pendidikan cerdas melalui peningkatan dan pemerataan kualitas pendidikan, perluasan akses dan relevansi memanfaatkan teknologi dalam mewujudkan pendidikan kelas dunia yang menghasilkan keterampilan kolaborasi, komunikasi, berpikir kritis dan kreatif.

Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menerapkan program pendidikan “Merdeka belajar” yang dijadikan arah pembelajaran ke depan. Program pendidikan “Merdeka Belajar” terdiri dari empat program pokok meliputi Penilaian USBN Komprehensif, UN diganti dengan assessment penilaian, RPP dipersingkat dan zonasi PPDB lebih fleksibel. Untuk mengimplementasikan program “Merdeka Belajar” perlu tranformasi kurikulum sekolah dan pembelajaran; transformasi manajemen pendidikan nasional dan transformasi manajemen pendidikan daerah dan otonomi sekolah.

Merdeka Belajar menjadi salah satu program untuk  menciptakan  suasana  belajar  di  sekolah yang bahagia, suasana yang happy, bahagia bagi peserta  didik  maupun  bagi  guru.  Latar  belajar diluncurkan   program   Merdeka   Belajar   adalah banyaknya  keluhan  dari  orang  tua  pada  sistem pendidikan   nasional   yang   berlaku   selama   ini termasuk  nilai  ketuntasan  minimum  yang  harus dicapai  siswa  yang  berbeda-beda  di  setiap  mata pelajaran. 

Merdeka belajar merupakan satuan unit Pendidikan yang mana sekolah, guru-guru dan murid memiliki kebebasan dalam berinovasi, kebebasan untuk belajar secara mandiri dan kreatif (kemendikbud, 2019).

Konsep yang diterapkan oleh Kemendikbud yakni pertama, memberikan peluang kepada guru untuk berinovasi dalam pembelajaran. Kedua, dengan memberikan kebijakan untuk Gerakan reformasi di sekolah masing-masing, sehingga pergerakan reformasi tidak hanya dipemerintahan maupun di kurikulm saja. Kemendikbud dan dinas Pendidikan membantu sekolah untuk membuka ruang dalam berinovasi. Sehingga penggerak yang ada di sekolah yakni “Guru penggerak”. Guru penggerak adalah guru yang lebih mengutamakan murid dan pembelajarannya lebih dari apapun. Tujuan dari guru penggerak yakni mengambil tindakan yang mengarah pada hal terbaik untuk peserta didik (Kemendikbud, 2019). Merdeka Belajar adalah kemerdekaan berpikir dimana esensi kemerdekaan berpikir ini harus ada pada guru terlebih dahulu. Tanpa terjadi pada guru, tidak mungkin bisa terjadi pada murid.

Nadiem Makarim (2019) mengatakan bahwa guru tugasnya mulia dan sulit. Dalam sistem pendidikan nasional guru memiliki tugas untuk membentuk masa depan bangsa namun terlalu banyak aturan dibandingkan pertolongan. Guru ingin membantu murid untuk mengejarkan ketertinggalan di kelas, tetapi waktu habis untuk mengejarkan administrasi tanpa manfaat yang jelas. Guru mengetahui potensi siswa tidak dapat diukur dari hasil ujian, namun guru dikerjar oleh angka yang didesak oleh berbagai pemangku kepentingan. Guru ingin mengajak murid ke luar kelas untuk belajar dari dunia sekitanya, tetapi kurikulum yang begitu pada menutup petualangan. Guru sangat frustasi bahwa di dunia nyata bahwa kemampuan berkarya dan berkolaborasi menentukan kesuksesan anak, bukan kemampuan menghafal. Guru mengetahui bahwa setiap murid memiliki kebutuhan berbeda, tetapi keseragaman mengalahkan keberagaman sebagai prinsip dasar birokrasi. Guru ingin setiap murid terinspirasi, tetapi guru tidak diberi kepercayaan untuk berinovasi. (https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2019/11/pidato-mendikbud)

 

Adapun pokok dari kebijakan merdeka belajar:

1. USBN 2020.

Berdasarkan Permendikbud Nomor 43 Tahun 2019, tentang Penyelenggaraan Ujian yang Diselengarakan Satuan Pendidikan dan Ujian Nasional,  khususnya pada Pasal 2, ayat 1; menyatakan bahwa ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan merupakan penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan yang bertujuan untuk menilai pencapaian standar kompetensi lulusan untuk semua mata pelajaran. Selanjutnya dijelaskan pada Pasal 5, ayat 1, bahwa; bentuk ujian yang diselenggarakan oleh Satuan Pendidikan berupa portofolio, penugasan, tes tertulis, atau bentuk kegiatan lain yang ditetapkan Satuan Pendidikan sesuai dengan kompetensi yang diukur berdasarkan Standar Nasional Pendidikan. Ditambahkan pula pada penjelasan Pasal 6, ayat 2, bahwa; untuk kelulusan peserta didik ditetapkan oleh satuan pendidikan/program pendidikan yang bersangkungan.  Dengan demikian jika melihat isi Permendikbud tersebut menunjukkan, bahwa Guru dan sekolah lebih merdeka untuk menilai hasil belajar siswa.

2. Ujian Nasional

Ujian Nasional adalah kegiatan pengukuran capaian kompetensi lulusan pada mata pelajaran tertentu secara nasional dengan mengacu pada standar kompetensi lulusan. Merupakan penilaian hasil belajar oleh pemerintah pusat yang bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu (Permendikbud No. 43 Tahun 2019). Terkait untuk pelaksanaan UN tahun 2020, sebagaimana disampaikan Mendikbud merupakan kegiatan UN yang terakhir kalinya, selanjutnya ditahun 2021 mendatang UN akan digantikan dengan  istilah lain yaitu Asesmen Kompetensi Minimun dan Survey Karakter. Asesmen dimaksudkan untuk mengukur kemampuan peserta didik untuk bernalar menggunakan bahasa dan literasi, kemampuan bernalar menggunakan matematika atau numerasi, dan penguatan pendidikan karakter. Adapun untuk teknis pelaksanaan ujian tersebut akan dilakukan ditengah jenjang sekolah. Misalnya di kelas 4, 8, 11, dengan maksud dapat mendorong guru dan sekolah untuk memetakan kondisi pembelajaran, serta mengevaluasi sehingga dapat  memperbiki mutu pembelajaran.

Terkait Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, dimaksudkan supaya setiap sekolah bisa menentukan model pembelajaran yang lebih cocok untuk murid-murid, daerah, dan kebutuhan pembelajaran mereka, serta Asesmen Kompetensi Minimum tidak sekaku UN, seperti yang disampaikan Dirjen GTK Supriano (https://www.alinea.id/nasional/merdeka-belajar).

Selanjutnya untuk aspek kognitif Asessmen Kompetensi Minimum, menurut Mendikbud materinya dibagi dalam dua bagian: (1) Literasi; bukan hanya kemampuan untuk membaca, tapi juga kemampuan menganalisa suatu bacaan, kemampuan memahami konsep di balik tulisan tersebut; (2) Numerasi; berupa kemampuan menganalisa, menggunakan angka-angka. Jadi ini bukan berdasarkan mata pelajaran lagi, bukan penguasaan konten, atau materi. Namun ini didasarkan kepada kompetensi dasar yang dibutuhkan murid-murid untuk bisa belajar, apapun mata pelajarannya (Media Indonesia, 12/12/2019).

3. RPP

Berdasarkan Surat Edaran Mendikbud Nomor 14 Tahun 2019, tentang Penyederhanaan RPP, isinya meliputi: (1) penyusunan RPP dilakukan dengan prinsip efisien, efektif, dan berorientasi pada siswa; (2) Dari 13 komponen RPP yang tertuang dalam Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016, yang menjadi komponen inti adalah tujuan pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran, dan penilaian pembelajaran (assesment) yang wajib dilaksanakan oleh guru, sedangkan sisanya hanya sebagai pelengkap; dan (3) Sekolah, Kelompok Guru Mata Pelajaran dalam sekolah, Kelompok Kerja Guru/Musyawarah Guru Mata Pelajaran (KKG/MGMP) dan individu guru secara bebas dapat memilih, membuat, menggunakan, dan mengembangkan format RPP secara mandiri untuk sebesar-besarnya keberhasilan belajar siswa. Adapun RPP yang telah dibuat dapat digunakan dan dapat disesuaikan dengan ketentuan sebagaaimana maksud pada angka 1, 2, dan 3.

Bila dicermati dari keseluruhan isi surat edaran mendikbud tersebut, dapat dimaknai bahwa penyusunannya lebih disederhanakan dengan memangkas beberapa komponen. Guru diberikan keleluasaan dalam proses pembelajaran untuk memilih, membuat, menggunakan, dan mengembangkan format RPP, sebab gurulah yang mengetahui kebutuhan siswa didiknya dan kebutuhan khusus yang diperlukan oleh siswa di daerahnya, karena karakter dan kebutuhan siswa di masing-masing daerah bisa berbeda. Untuk penulisan RPP-nya supaya lebih efisiensi dan efektif, cukup dibuat ringkas bisa dalam satu halaman, sehingga guru tidak terbebani oleh masalah administrasi yang rijit. Diharapkan melalui kebebasan menyusun RPP kepada guru, siswa akan lebih banyak berinteraksi secara aktif, dinamis, dengan model pembelajaran yang tidak kaku.

4. PPDB

Berdasarkan Permendikbud baru Nomor 44 Tahun 2019 tentang PPDB 2020, sebagaimana dinyatakan pada Pasal 11, dalam persentase pembagiannya meliputi: (1) untuk jalur zonasi paling sedikit 50 persen; (2) jalur afirmasi paling sedikit 15 persen; (3) jalur perpindahan tugas orang tua/wali lima persen; dan (4) jalur prestasi (sisa kuota dari pelaksanaan jalur zonasi, afirmasi dan perpindahan orang tua /wali (0-30 persen). Jelas ini berbeda dengan kebijakan PPDB  pada tahun-tahun sebelumnya, setidaknya terdapat dua hal penting:  (1) kuota penerimaan siswa baru lewat jalur berprestasi, semula 15 persen, sekarang menjadi 30 persen; dan (2) adanya satu penambahan baru jalur PPDB, yaitu melalui jalur afirmasi, yang ditujukan terutama  bagi mereka yang memegang Kartu Indonesia Pintar (KIP). Dengan demikian untuk PPDB 2020 masih tetap menggunakan sistem zonasi, akan tetapi dalam pelaksanaannya lebih bersifat fleksibel, dengan maksud agar dapat mengakomodir ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah. Terpenting dalam prorporsi finalisasinya, daerah berwenang untuk menentukan dan menetapkan wilayah zonasinya. Secara umum sistem zonasi dalam PPDB itu sudah baik, karena dapat mendorong hilangnya diskriminasi bagi anggota masyarakat untuk bersekolah di sekolah-sekolah terbaik.

Suyanto Kusumaryono (2019) menilai bahwa konsep “Merdeka Belajar” yang dicetuskan oleh Nadiem Makarim dapat ditarik beberapa poin (R. Suyanto Kusumaryono dalam Kemendikbud.go.id, 2019). Pertama, konsep “Merdeka Belajar” merupakan jawaban atas masalah yang dihadapi oleh guru dalam praktik pendidikan. Kedua, guru dikurangi bebannya dalam melaksanakan profesinya, melalui keleluasaan yang merdeka dalam menilai belajar siswa dengan berbagai jenis dan bentuk instrumen penilaian, merdeka dari berbagai pembuatan administrasi yang memberatkan, merdeka dari berbagai tekanan intimidasi, kriminalisasi, atau mempolitisasi guru. Ketiga, membuka mata kita untuk mengetahui lebih banyak kendala-kendala apa yang dihadapi oleh guru dalam tugas pembelajaran di sekolah, mulai dari permasalahan penerimaan perserta didik baru (input), administrasi guru dalam persiapan mengajar termasuk RPP, proses pembelajaran, serta masalah evaluasi seperti USBN-UN (output). Keempat, guru yang sebagai garda terdepan dalam membentuk masa depan bangsa melalui proses pembelajaran, maka menjadi penting untuk dapat menciptakan suasana pembelajaran yang lebih heppy di dalam kelas, melalui sebuah kebijakan pendidikan yang nantinya akan berguna bagi guru dan siswa. Terakhir, dicetuskannya konsep “Merdeka Belajar” pada saat Nadiem Makarim memberikan pidato pada acara Hari Guru Nasional (HGN) tersebut, diasumsikan tidak lagi menjadi gagasan melainkan lebih pada sebuah kebijakan yang akan dilaksanakan.

Kesimpulan dari konsep merdeka belajar merupakan tawaran dalam merekonstruksi sistem pendidikan nasional. Penataan ulang sistem pendidikan dalam rangka menyongsong perubahan dan kemajuan bangsa yang dapat menyesuaikan dengan perubahan zaman. Dengan cara, mengembalikan hakikat dari pendidikan yang sebenarnya yaitu pendidikan untuk memanusiakan manusia atau pendidikan yang membebaskan. Dalam konsep merdeka belajar, antara guru dan murid merupakan subyek di dalam sistem pembelajaran. Artinya guru bukan dijadikan sumber kebenaran oleh siswa, namun guru dan siswa berkolaborasi penggerak dan mencari kebenaran. Artinya posisi guru di ruang kelas bukan untuk menanam atau menyeragamkan kebenaran menurut guru, namun menggali kebenaran, daya nalar dan kritisnya murid melihat dunia dan fenomena. Peluang berkembangnya internet dan teknologi menjadi momentum kemerdekaan belajar. Karena dapat meretas sistem pendidikan yang kaku atau tidak membebaskan. Termasuk mereformasi beban kerja guru dan sekolah yang terlalu dicurahkan pada hal yang administratif. Oleh sebabnya kebebasan untuk berinovasi, belajar dengan mandiri, dan kreatif dapat dilakukan oleh unit pendidikan, guru dan siswa.

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Seiring berjalannya waktu dan jaman semakin berkembang, terjadi perubahan pada tingkah laku dan perilaku manusia berubah dari masa ke masa. Begitu pula hal ini turut merubah perkembangan sistem pendidikan yang ada di dunia dan di Indonesia. Sistem pendidikan adalah strategi atau metode yang digunakan dalam proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan agar peserta didik dapat secara aktif mengembangkan potensi yang ada di dalam dirinya.

Pendidikan 4.0 adalah pendidikan yang bercirikan pembelajaran cyber system. Pembelajaran cyber system memang memiliki berbagai kelebihan, yaitu tidak terbatas tempat, jarak dan waktu, relatif lebih efisien, menambah keaktifan peserta didik, serta terdapat sumber belajar yang luas (Kusmana:2011). Namun demikian, selain berbagai kelebihan yang dimiliki, pembelajaran cyber system juga memiliki kekurangan terutama berkaitan dengan kasus etika. Pembelajaran cyber system memungkinkan peserta didik untuk melakukan berbagai kecurangan, di antaranya adalah praktik plagiasi, mengunduh tulisan tanpa izin, membeli karya dari orang lain, menyontek saat ujian, dan lain sebagainya (Ahmad Setiadi:2015).

Pendidikan 4.0 adalah suatu istilah yang digunakan oleh para ahli dalam mengintegrasikan teknologi cyber dalam pembelajaran. Pendidikan di era industri 4.0 ini lebih memanfaatkan teknologi digital. Oleh karena itu, pendidikan di industri 4.0 perlu mengembangkan kemampuan, diantaranya: berpikir, bertindak dalam berinovasi serta kreatif.

Pendidikan pada abad ini mengalami tantangan yang sangat besar. Jika cara mengajar tidak dirubah maka kita akan mengalami kesulitan besar.

Pembelajaran harus memuat keterampilan dan sikap, agar siswa mampu berkompetisi dengan mesin. Siswa pada Pendidikan 4.0 dalam produksi dan aplikasi pengetahuan serta inovasi sebagai konektor, kreator, dan konstruktivis. Inilah yang menyebabkan kita harus menyiapkan guru yang berkualitas, dan berkompeten serta memiliki kualifikasi.

Era Pendidikan 4.0 menekankan pada ekonomi digital, intelegensi artifisial, robot dan data (Ghani and Kamaruzzaman, 2019). Sehingga dunia pendidikan dan pembelajaran mengalami perubahan. Tuntutan di era pendidikan 4.0 ini, guru mendapatkan tantangan untuk mengubah cara pandang dan metode dalam pembelajaran (King, et al., 2010).

Guru pada era pendidikan 4.0 ini jika tidak memiliki kualitas, kompetensi dan kualifikasi yang mumpuni, maka akan tergantikan salah satu fungsinya yaitu dalam mentransfer ilmu pengetahuan (Almeida: 2019). Guru harus cepat menanggapi perubahan ini. Dengan kata lain, guru memiliki tugas lebih dari sekedar mengajar, namun juga mengelola siswa.

Peran guru dalam pendidikan dan pembelajaran akan menjadi teladan bagi siswa. Guru perlu melakanakan pembelajaran dengan menyenangkan, menarik, kreatif, bersahabat, dan fleksibel (Leen, et al., 2014). Selain itu, guru juga menjadi fasilitator, inspirator, motivator, imajinasi, kreativitas dan tim kerja serta pengembang nilai – nilai karakter. Dan juga guru merupakan empati sosial untuk siswa. Hal tersebut diatas merupakan peran guru yang tidak akan dapat digantikan oleh teknologi.

Tantangan seorang pendidik tidak berhenti pada kemampuan menerapkan teknologi informasi pada proses belajar mengajar akan tetapi ada 6 kompetensi yang diharapkan dimiliki guru 4.0 yaitu :

  1. Critical Thinking and Problem solving (keterampilan berpikir kritis dan pemecahan masalah). Yaitu kemampuan untuk memahami sebuah masalah yang rumit, mengkoneksikan informasi satu dengan informasi lain, sehingga akhirnya muncul berbagai perspektif, dan menemukan solusi dari suatu permasalahan. Kompetensi ini dimaknai kemampuan menalar, memahami dan membuat pilihan yang rumit; memahami interkoneksi antara sistem, menyusun, mengungkapkan, menganalisis, dan menyelesaikan masalah. ini sangat penting dimiliki peserta didik dalam pembelajaran abad ke 21. Guru era 4.0 harus mampu meramu pembelajaran sehingga dapat mengekspor kompetensi ini kepada peserta didik.
  2. Communication and collaborative skill ( keterampilan komunikasi dan kolaborasi). kemampuan berbasis teknologi informasi dan komunikasi yang harus diterapkan guru dalam pembelajaran guna mengkonstruksi kompetensi komunikasi dan kolaborasi.
  3. Creativity and innovative skill ( keterampilan berpikir kreatif dan inovasi). Revolusi mengkehendaki peserta didik untuk selalu berpikir kreatif dan inovatif, ini perlu agar mampu bersaing dan menciptakan lapangan kerja berbasisi revolusi industry 4.0. Tentu seorang guru harus terlebih dahulu dapat kreatif dan inovasi agar bisa menularkan kepada peserta didiknya. 
  4. Information and communication technology literacy (Literasi teknologi informasi dan kominikasi ). Literasi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menjadi kewajiban guru 4.0, ini harus dilakukan agar tidak ketinggalan dengan peserta didik. Literasi Teknologi infomasi dan komunikasi merupakan dasar yang harus dikuasai agar mampu menghasilkan peserta didik yang siap bersaing dalam menghadapi revolusi industry 4.0.
  5. Contextual learning skill. Pembelajaran ini yang sangat sesuai diterapkan guru 4.0 ketika sudah menguasai TIK, maka pembelajaran kontekstual lebih mudah diterapkan. Saat ini TIK salah satu konsep kontekstual yang harus diketahui oleh guru, materi pembelajaran berbasis TIK sehingga guru sangat tidak siap jika tidak memiliki literasi TIK. Materi yang bersifat abstrak mampu disajikan lebih riil dan kontekstual menggunakan TIK.
  6. Information and media literacy (literasi informasi dan media). Banyak media informasi bersifat sosial yang digeluti peserta didik. Media sosial seolah menjadi media komunikasi yang ampuh digunakan peserta didik dan salah satu media pembelajaran yang dapat dimanfaatkan guru 4.0. Kehadiran kelas digital bersifat media sosial dapat dimanfaatkan guru, agar pembelajaran berlangsung tanpa batas ruang dan tanpa waktu.

Pemerintah mengusung konsep merdeka belajar bukan tanpa alasan dan fokus yang jelas. Pada 2021 ini, kurikulum ada diubah total untuk menjamin sistem pendidikan 4.0 dapat berjalan dengan baik. Lalu, apa dasar kecocokan konsep ini terhadap pendidikan 4.0? Sebagai berikut:

1. Pengembangan pola pikir

Konsep pendidikan “merdeka belajar” memiliki fokus pada pengembangan kemampuan kognitif siswa. Artinya, siswa akan ditantang untuk mampu berpikir kritis dengan analisis yang baik. Kemampuan inilah yang dibutuhkan siswa agar bisa membuat keputusan yang bijak dalam penyelesaian masalah. Sebab, dalam industri 4.0 basisnya adalah data technology dengan kata lain informasi yang bisa diakses oleh semua orang. Siswa yang tidak mampu menganalisis semua informasi tersebut tentu akan gagal membuat analisis serta kesimpulan yang benar dan akurat.

2. Inovasi di tingkat pendidikan

Salah satu pokok dari konsep pendidikan baru ini adalah membuat siswa mampu mengembangkan minat dan bakatnya di sekolah. Oleh karena itu, pemerintah menghapus penilaian melalui UN, dan menggantinya menjadi penugasan dan portofolio.

Alasannya jelas, siswa akan ditantang untuk mampu berinovasi terhadap instrumen dan penyelesaian masalah. Fokusnya adalah bagaimana siswa mampu menjawab persoalan dalam bentuk proyek mata pelajaran dari sekolah.

Proses ini penting bagi para siswa untuk belajar mengaplikasikan teori yang mereka pelajari di kelas menjadi sebuah hasil yang nyata. Siswa akan belajar membuktikan, bukan hanya menghafal materi.

3. Meningkatkan kecerdasan siswa

Dalam kurikulum pendidikan 4.0, pemerintah telah merancang standar khusus agar siswa Indonesia semakin terlatih kemampuan kognitifnya, dan semakin mampu menyelesaikan masalah dengan baik.

Di dalam konsep  “Merdeka Belajar” dan Pendidikan 4.0 Ada tiga syarat infrastruktur dasar yang harus disiapkan oleh sekolah untuk bisa menyelenggarakan kurikulum pendidikan 4.0. Pertama, jaringan internet stabil dan berkecepatan tinggi; kedua, instrumen pembelajaran berbasis digital; dan ketiga, guru atau mentor profesional dan berkualitas.

Bilamana ada satu indikator dasar saja yang belum terpenuhi, sekolah dipastikan akan gagal dalam menyelenggarakan kurikulum sesuai standar pendidikan 4.0 dan merdeka belajar seperti yang diharapkan.

Namun, pembangunan infrastruktur pendidikan yang berbasis teknologi adalah investasi yang tidak murah. Oleh karena itu, sekolah harus segera menyiapkan infrastruktur tersebut secara bertahap dan terencana. Khususnya dalam hal dana yang akan dianggarkan.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments