DPKSUMENEP.ID – Dalam upaya mendorong pelestarian bahasa daerah sebagai bagian integral dari identitas kultural dan instrumen pendidikan literasi lokal, Komunitas Damar Kambang Sumenep menyelenggarakan Lomba Menulis Cerita Pendek atau Noles Careta Pandha’.
Kegiatan ini berlangsung sejak awal Februari hingga awal Mei 2025, dan terbuka bagi kalangan pendidik serta masyarakat umum.
Koordinator Komunitas Damar Kambang, Nurut Taufik, menjelaskan bahwa penyelenggaraan lomba ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap minimnya produksi teks sastra dalam bahasa Madura, khususnya di wilayah Kabupaten Sumenep.
“Bahasa Madura tidak hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai sarana ekspresi kultural dan pengetahuan lokal. Melalui kegiatan ini, kami ingin menciptakan ruang produktif untuk mendorong munculnya karya-karya sastra yang mampu memperkuat eksistensi bahasa Madura di tengah arus globalisasi,” ujar Taufik.
Sebanyak 15 naskah lolos seleksi dan dinilai oleh dewan juri. Empat karya terbaik dipilih sebagai pemenang. Juara pertama diraih oleh Utsman, S.Pd. dari MA Raudhatut Tholibin Sumenep melalui cerpen Mano’ Koju’ Rowa Amonye Pole. Juara kedua adalah A. Warits Rovi dari MTsS Al-Huda II dengan karya Reng Bine’ se Acaca ban Dhaun. Juara ketiga diraih Amin Sakir, S.Pd.SD dari SDN Kertagena Laok 1 dengan naskah Tadha’ Kasta e Adha’, dan posisi keempat ditempati oleh Nurul Zuis Ning Prihatin, S.Pd.SD dari SDN Kertagena Tengah 3 lewat cerpen Kanca se Saongguna.
Kegiatan ini terselenggara atas kolaborasi multipihak, termasuk dukungan dana dari program Corporate Social Responsibility (CSR) Penerbit Erlangga. Taufik menyebut bahwa sinergi dengan sektor swasta menjadi krusial dalam mendukung inisiatif berbasis komunitas yang sering kali terkendala pendanaan.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sumenep, Agus Dwi Saputra, menyampaikan apresiasi terhadap inisiatif ini. Ia menilai bahwa revitalisasi bahasa Madura melalui pendekatan literasi kreatif merupakan langkah strategis dalam menghindarkan bahasa daerah dari ancaman kepunahan.
“Bahasa Madura adalah warisan budaya yang bernilai. Dalam konteks pendidikan, memperkuat pembelajaran bahasa daerah melalui literasi tidak hanya memperkaya kompetensi linguistik peserta didik, tetapi juga membangun kesadaran identitas lokal,” jelas Agus.
Lebih jauh, ia menekankan pentingnya kontinuitas program serupa agar dapat memantik munculnya generasi penulis yang mampu menulis dan berpikir dalam bahasa ibu mereka sendiri.
Dengan pendekatan partisipatif dan berbasis komunitas, lomba ini diharapkan tidak hanya menghasilkan karya sastra, tetapi juga menciptakan ekosistem literasi yang mendukung pelestarian bahasa Madura secara berkelanjutan. (ibn)