Teror Oknum LSM di SDN Duko, Dewan Pendidikan Murka

Insiden penggebrakan meja oleh seorang anggota LSM di SDN Duko 1, Pulau Kangean, menyisakan trauma bagi guru dan siswa. Dewan Pendidikan turun tangan, hukum ditantang untuk bertindak.

DPKSumenep.id — Siang itu, suasana di ruang guru SDN Duko 1, Kecamatan Arjasa, Pulau Kangean, mendadak berubah tegang. Seorang pria bertubuh tambun, mengenakan kaos lengan pendek, menggebrak meja dengan suara keras. Nada bicaranya meninggi, telunjuknya menuding-nuding, sementara beberapa guru hanya bisa duduk diam, sebagian lainnya terlihat terpaku. Di luar ruangan, terdengar jeritan siswa yang ketakutan.

Aksi itu, sebagaimana terekam dalam video yang kemudian beredar luas di media sosial, dilakukan oleh seseorang yang mengaku bernama Muhlis, anggota dari sebuah LSM bernama Bidik. Ia datang membawa tudingan soal dugaan penyimpangan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Tapi cara yang ditempuh jauh dari semangat advokasi: mengintimidasi, menantang berkelahi, bahkan diduga hendak melakukan kontak fisik.

Bagi Dewan Pendidikan Kabupaten Sumenep (DPKS), ini adalah batas akhir. Dalam rilis resmi yang diterbitkan sehari setelah kejadian, Ketua DPKS Mulyadi menyebut tindakan Muhlis sebagai “biadab” dan “penodaan terhadap institusi pendidikan.” Ia mendesak aparat penegak hukum untuk segera bertindak. “Cara-cara seperti ini tidak boleh dibiarkan menjadi preseden. Ini murni teror, bukan advokasi,” katanya.

DPKS juga mengingatkan bahwa sekolah bukan tempat adu otot dan intimidasi. Bila ada indikasi penyimpangan, jalur hukum adalah pilihan yang tersedia. “Tidak bisa dibenarkan, apalagi sampai menakut-nakuti anak-anak,” kata Mulyadi.

Ironisnya, kejadian semacam ini bukan yang pertama. Di beberapa daerah lain, masih kerap ditemukan praktik pengawasan oleh LSM yang dilakukan dengan pendekatan kasar, memanfaatkan celah hukum dan lemahnya pengawasan institusional.

Yang membuat insiden ini mencolok adalah lokasinya: sebuah sekolah negeri di pulau terpencil. Tempat yang seharusnya menjadi zona nyaman untuk belajar, justru berubah jadi panggung teror verbal.

Mereka berharap, penegakan hukum yang tegas bisa memberikan efek jera—dan menjadi pelajaran bahwa advokasi, sekeras apapun, tetap harus beradab.

4.3 6 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments